: Ayah
Apa
kabarmu yah? Semoga engkau baik-baik saja. Oh ya, bukan
ketidaksengajaan yang mendasariku menulis surat ini. Toh memang sudah
sejak jauh hari kupersiapkan, karena memang hanya ini yang bisa
kuhadiahkan.
Ayah..
Ketika
menuliskan surat ini, aku tahu engkau tengah tertidur pulas disana,
sebab ragamu pun tak mampu melawan usia. Tetapi ketahuilah, kau tak
akan menua dalam ingatanku. Kau slalu ada. Kau tetap sosok yang
kubanggakan..
Ayah..
Aku hanya rindu, tapi
malu. Sebab seiring berjalannya waktu aku tumbuh dewasa, yang itu
artinya mau tak mau memangkas kedekatan kita. Memang, kita jarang
bertukar cerita, tapi aku tahu, di dalam hatimu, kau tetap mendoakanku
seperti biasa, dan seperti kau tahu, aku tetap membanggakanmu tanpa
jeda.
Tapi jauh di pucuk-pucuk ingatanku, aku rindu kau
dongengkan. Aku rindu ketika kau ajak aku berjalan-jalan menyusuri
pinggiran desa , Menikmati segarnya udara sehabis subuh, menyaksikan
sisa-sisa purnama yg kian surup. kau gandeng tanganku, sembari
menyanyikan sebuah lagu, ya, sebuah lagu yg sampai saat ini masih saja
slalu terngiang nadanya di telingaku. pengakuan bangga meluncur dari
bibirmu pada orang-orang. Tapi sudahlah, itu sebuah kisah kecil dari
berjuta kisah yg ada antara kita.
Terakhir namun
terpenting, tetap sayangi ibu seperti biasa sampai kapanpun, setegas
sumpah yang kau ucap di hari pernikahanmu. Itu saja.
Cuma
ini dan sebaris doa yang mampu kuberikan. Maaf jika aku belum mampu
menjadi lelaki seutuhnya seperti yang kau harapkan. Beri aku sedikit
kepercayaan, dan aku akan berjuang.
Anakmu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar