Rabu, 26 November 2014

Dalamnya Lautan Dapat Diukur, Dalamnya Onde-Onde Siapa Yang Tau.


Warung onde-onde Mak Sum di sebelah Angkringan Pak Ngadiyo itu memang baru seminggu buka tapi selalu ramai pembeli. Mak Sum yang masih terhitung saudara dengan pak Ngadiyo itu terpaksa pindah lapak ke sebelah angkringan Pak Ngadiyo. Hampir hancur hati Mak Sum ketika beberapa minggu yang lalu dia mendapat surat pemberitahuan bahwa di titik tempat jualannya akan dibangun tiang penyangga baliho raksasa. Padahal sudah lebih dari 20 tahun mak Sum berdagang Onde-onde di sana untuk menghidupi keluarganya. Untungnya pak Ngadiyo tahu kabar itu dan lalu berbaik hati menawarkan lahan untuknya, di sebelah angkringannya.
Akhirnya terjadilah simbiosis yang mutualisme antara angkringan pak Ngadiyo dengan warung onde-onde Mak Sum. Pelanggan angkringan pak Ngadiyo bisa sekalian jajan onde-onde di tempat Mak Sum, sedangkan pembeli onde-onde mak Sum juga punya pilihan makan di tempat sambil menyeruput segelas teh panas gula batu atau jahe panas di angkringan pak Ngadiyo.
Seperti sore ini, Hamid dan Baba menikmati teh panas mereka ditemani setengah lusin onde-onde buatan mak Sum yang masih hangat.
“Henponmu baru ya, Mid? Yang kemarin kenapa?” Tanya Baba melihat temannya yang sedari tadi hanya memainkan henpon di tangannya.
“Iya, Ba. Pingin ganti aja biar nggak keliatan ndeso gitu kalo ditaruh di meja angkringan.” Jawab Hamid sambil menaruh henponnya di meja gerobak angkringan.
“Wah, nggaya kamu. Memangnya ada ya, yang ngatain henpon lamamu ndeso?” Tanya Baba lagi kepada temannya.
“Ya ndak. Biar nggak ketinggalan teknologi juga.” Sahut Hamid.
“Ya kalau memang ada yang ngomongin ndeso atau ketinggalan jaman, kan tinggal disimpen di saku saja to? Nggak usah ditaruh meja.” Kata Baba sambil menyomot onde-onde.
“Wah, ngganjel, Ba. Beban hidupku saja udah bikin ngganjel, masak mau ditambahin keganjel henpon.” Tukas Hamid.
“Kamu kebanyakan alesan, Mid. Barang kayak gitu kalo diturutin nggak ada habisnya. Malah duitmu yang habis duluan.” Kata Baba yang hanya didiamkan oleh Hamid.
“Tumben kamu bijaksana, Ba? Kamu habis ngemil ril sepur ya? Perkataanmu lurus banget.” Pak Ngadiyo menimpali obrolan Baba dan Hamid.
“Wah, ini orang tua satu ini nggak beres juga.” Kata Baba kepada pak Ngadiyo yang dibarengi dengan tawa Hamid.
**

“Mak Sum, minta onde-onde 10 ya.” Seorang lelaki berteriak dari jauh sambil menghampiri gerobak onde-onde Mak Sum.
“Lhooooo, mas Roni apa kabar? Kok ya tahu kalo saya pindah sini?” Mak Sum menyapa lelaki tadi, yang ternyata pelanggan lama-nya.
“Lha saya tadi ke tempat Mak Sum yang lama tapi nggak ketemu, saya pikir tutup. Untungnya ada tukang parkir di sana yang tau kalo saya nyidam onde-onde mak Sum, dan lalu ngasih tau kalau Mak Sum sudah pindah ke sini.” Kata lelaki tadi sambil mengajak salaman mak Sum.
“Ya sukur kalo masih dikersakke. Eh, omong-omong tadi kok jalan?” Tanya mak Sum kepada Roni.
“Itu Fitri baru belanja bulanan di Alfauwauwu lalu saya tinggal ke sini saja, mak.” Kata Roni sambil menunjuk sebuah supermarket, kira-kira 200 meter dari arah mereka berdiri.
“Oalah. Sudah lama juga saya ndak ketemu sama jeng Fitri.” Kata mak Sum.
“Nanti pasti ketemu, Mak. Saya suruh dia njemput saya ke sini kok.” Sahut Roni.
“Ya ya, saya tunggu, mas. Eh, ini onde-ondenya mau dibawa pulang apa dimakan di sini? Sambil ngeteh, mas. Enak lho makan onde-onde sambil ngunjuk teh gula batu buatan mas Ngadiyo.” Kata mak Sum promosi.
“Wah, boleh juga idenya itu. Gini aja, mak. Yang 10 dibungkus buat anak-anak, saya di sini minta 2 ya.” Kata Roni kepada mak Sum.
“Nggih, mas. Monggo duduk dulu, nanti saya antar onde-ondenya.” Kata mak Sum.
Roni berpindah dari kios mak Sum menuju angkringan. Di sana Roni disambut oleh pak Ngadiyo yang langsung membuatkan segelas teh panas atas perintah mak Sum. Baba dan Hamid yang dari tadi sudah jagongan di angkringan ikut mempersilahkan Roni duduk bersama mereka.
“Mari duduk, mas.” Kata Hamid mempersilakan Roni duduk di sebelahnya di sebuah bangku panjang.
“Matur nuwun, mas.” Jawab Roni.
Hamid curi-curi pandang memerhatikan Roni. Terlihat ada yang ganjil dengan dandanannya. Roni memakai kaos lusuh yang mungkin sudah seumuran juga dengan si pemakai. Dari sekilas pengamatannya terhadap celana Roni, Hamid menyimpulkan, dulunya celana itu pernah berwarna biru tua. Tapi kini yang terlihat celana pendek yang dipakai Roni itu berubah warna menjadi biru langit.
“Wah seger ini tehnya, pak. Kemepyar.” Kata Roni kepada pak Ngadiyo setelah menyeruput teh gula batu.
“Biasa saja, mas. Mampunya ya cuma buat wedang teh seperti ini.” Jawab pak Ngadiyo.
“Lho, jangan salah, pak. Orang yang bisa buat teh enak itu pasti diberkahi sama Tuhan. Orang-orang yang lelah sepulang kerja, jadi seger lagi setelah nyruput teh buatan sampeyan. Buat orang bahagia itu pahala lho. Lak gitu to, mas?” Kata Roni kepada pak Ngadiyo, juga Baba dan Hamid.
“Njenengan itu lho, bisa saja, mas. Tapi ya tetep saya amini.” Kata pak Ngadiyo.
“Jangan dipuji terus, mas. Nanti malah kita yang dosa kalau terlalu banyak muji bakul angkringan model pak Ngadiyo ini. Itungannya dosanya sama seperti nyembah pohon beringin angker.” Kata Baba kepada Roni.
“Heh. Mulutmu itu lho!” Hardik pak Ngadiyo yang disambut tawa semua orang di angkringan.
“Ini juga salah satu makanan yang membuat bahagia. Onde-onde buatan mak Sum.” Kata Roni sambil mengambil onde-onde yang tersaji di depannya.
“Rasa onde-onde buatan mak Sum ini nggak ada tandingannya. Saya ini nggak kerasa sudah 10 tahun langganan onde-onde di tempat mak Sum.” Lanjut Roni sambil mengangkat kedua kakinya dan bersila di bangku angkringan.
Secara reflek, Hamid bergeser dan tidak sengaja penglihatannya tertuju kepada sesuatu yang aneh di bawah. Ternyata sandal jepit yang Roni pakai tidak kalah kumalnya dengan kaos dan celananya. Sandal jepit yang sudah tipis dan menjelang sakaratul maut dengan tulisan “kiri dari kanan” dan “kanan dari kiri” di permukaan masing-masing sandalnya.
“Lhooooh. Jeng Fitri apa kabar?” Teriakan mak Sum mengagetkan Hamid yang dari tadi mengawasi pakaian Roni. Diarahkan pandangannya ke arah gerobak mak Sum, seorang perempuan terlihat berada di atas motor sedang ngobrol dengan mak Sum.
“Mas Roni, ini lho sudah dijemput jeng Fitri.” Teriak mak Sum.
“Nggih, mak.” Balas Roni.
“Pak, ini buat semuanya.” Kata Roni sambil menyerahkan selembar uang seratus ribu Rupiah.
“Wah, maaf, mas. Mbok uangnya yang kecil saja. Belum ada kembaliannya.
“Sudah, diambil saja, pak. Sekalian nanti minta tolong bayarkan onde-onde saya ke mak Sum.” Kata Roni.
“Aduh, gimana ini. Ya anggap saja nabung ya, mas. Tapi janji lho, kapan-kapan kalau sempat harus main ke sini lagi.” Kata pak Ngadiyo.
“Gampang, pak. Pasti saya ke sini lagi. Saya jatuh cinta sama teh gula batunya.” Kata Roni kepada pak Ngadiyo yang lalu berpamitan kepada penghuni gerobak yang lainnya, Hamid dan Baba.
“Mak, pamit dulu ya. Kapan-kapan saya ke sini lagi.” Kata Roni kepada mak Sum.
“Ya harus dong. Kapan-kapan jeng Fitri diajak wedangan juga di tempat pak Ngadiyo.” Ujar mak Sum.
“Pasti, mak. Maaf ini nggak bisa lama-lama. Anak-anak di rumah sudah nelpon terus, katanya ada tamu cari bapaknya.” Kata perempuan yang ternyata istri Roni.
“Iya, nggak papa. Hati-hati di jalan ya. Salam buat anak-anak di rumah.” Sahut mak Sum melepas kepergian Roni dan istrinya.
“Welah. Orang pakaiannya kummel kok ternyata duitnya torah-turah.” Kata Hamid melihat pak Ngadiyo dan mak Sum saling membagi uang yang diterima tadi dari Roni.
“Hus! Kamu jangan ngomong gitu. Kamu pasti nggak tau siapa tadi mas Roni itu.” Kata mak Sum sambil mengambil piring bekas onde-onde Roni.
“Lha emangnya siapa toh, mak?” Tanya Hamid.
“Lho, dia itu pemilik perusahaan kapur barus terbesar se-Indonesia je, Mid.” Terang mak Sum kepada Hamid.
“Who, lha kok nggak keliatan mriyayeni to, mak?” Tanya Hamid lagi.
“Ya nggak semua orang mau memperlihatkan apa yang dia punya to, Mid. Sama orang seperti itu kamu justru harus ati-ati. Salah-salah malah dibeli sekalian hidupmu.” Kata pak Ngadiyo.
“Lha itu tadi termasuk ilmu onde-onde, Mid. Kamu jangan liat banyak sedikitnya wijen yang ada di kulitnya, tapi perhatikan juga apa yang ada di dalam onde-onde tadi. Percuma kulitnya bagus tapi dalamnya kopong.” Gantian Baba yang urun bicara.
“Ilmu onde-onde, ki opoo? Kamu tuh bisa saja, Ba.” Kata mak Sum sambil tertawa.
“Don’t judge an onde-onde by its wijen.” Hamid berkata dalam hati sambil memandang onde-onde di depannya. Perlahan dia mengambil henponnya yang dari tadi dia geletakkan di meja dan lalu memasukkannya ke dalam saku celananya.

Onde-onde
(image diambil dari Google)Onde-onde (image diambil dari Google)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar